MAKALAH
Ushul Fiqh EKIS
“Analisis Ijma terhadap
problematika ekonomi”
Kelompok 3
Oleh
:
M.Khariska
Nurul
Khotimah
Teten
Sriyanti
Dosen
Pengampuh oleh Dr. Moh Dahlan, M.Ag
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI ISLAM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Harus dikemukakan sejak awal
bahwa ijma’ itu tidak terlepas dari penyandaran terhadap Al-Qur’an dan
As-Sunnah, . Sebagai doktrin dan dalil syari’ah, ijma’ pada dasarnya ijma’
merupakan dalil rasional. Teori ijma’ juga jelas bahwa ia merupakan dalil yang
menuntut bahwa banyak konsensus mutlak dan universal sajalah yang memenuhi
syarat, sekalipun konsensus mutlak mengenai materi ijma’ yang bersifat rasional
sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya menerima ijma’
sebagai realitas dan konsep yang falid dalam pengertian relative, tetapi bukti
factual tidak cukup untuk menentukan universalitas ijma’. Definisi klasik dan
syarat esensial ijma’ sebagai mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah
sangat jelas bahwa tak kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim
dapat dianggap sebagai ijma’ yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada
sedikitpun ruang bagi ketidak sepakatan, atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’.
Teori ijma’ juga tidak mau menerima gagasan relatifitas atau tidak mau menerima
kesepakatan darinya...
Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua
ahli ijtihad pada suatu masa atas hukum syara’ . oleh karena itu , menurut
Hanafi , dalam ijma’ terkandung hal-hal berikut :
1.
Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat seseorang
sama dengan pendapat lain.
2.
Apabila ada yang tidak sependapat , tidak akan ada
ijma’ tanpa kesepakatan secara keseluruhan ijma’ , tidak terjadi , tetapi
pendapat terbanyak dapat dijadikan hujjah
3.
Jika pendapat di suatu masa tersebut hanya keluar dari
seorang mujtahid , bukan termasuk ijma’
4.
Kebulatan pendapat harus real , artinya semua
menyatakannya , baik dengan lisan , tulisan , atau isyarat .
5.
Kesepakatan yang dimaksudkan hanya berlaku untuk
mujtahid , bukan yang lainnya .[1]
6.
Kebulatan pendapat dari kelompok tertentu , bukan
merupakan ijma’ , sebab ijma’ disini adalah ijma’ ummah seluruh umat bersepakat
.
Terjadinya ijma’ disebabkan oleh berbagai hal yaitu :
1.
Karena pernah terjadi, dan hal itu diakui secara
mutawatir .
2.
Pada masa awal islam, para mujtahid masih sedikit dan
terbatas sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan ijma’ dan menetapkan
suatu hukum. Akan tetapi, melakukan ijma’ yang diakui validitasnya oleh ulama ahli
ushul, hanyalah ijma’ sahabat, karena jumlah sahabat yang sedikit pada
zamannya. Sahabat adalah orang yang bertemu, bergaul dengan Nabi SAW. dan
banyak menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-qur’an .
3.
Ijma’ tidak akan terjadi, tidak akan ada dan tidak
akan pernah ada, karena persoalan agama, sejak diutusnya nabi hingga kiamat ,
merupakan masalah yang disepakati.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan
Fungsi Ijma’
Secara etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan”
atau konsensus.[3]
Pengertian ini dijumpai dalam Al-Qur’an surat An-nisa (115) :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًاوَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.(QS.An-Nisa’:115)”.[4]
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah (ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus, 10: 71:
... maka bulatkanlah keputusanmu
dan kumpulkanlah) sekutu-sekutumu..
Perbedaan antara pengertian kedua
terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian
pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua
memerlukan tekad kelompok.[5] Perbedaan
rumusan itu dapat dilihat dari beberapa rumusan atau definisi ijma’ sebagai
berikut:
a) Al-Ghazali
merumuskan ijma’dengan:
اتِّفَاقُ جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِينَ
مِنْ أُمَّةِمُحَمَّدٍ فِي عَصْرٍ مَا بَعْدَ عَصْرِهِ عَلَى أَمْرٍ شَرْعِيٍّ
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu
urusan agama.
Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat
Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi Muhammad
atau umat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i
yang menetapkan ijma’ itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya
didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat
secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalami
perubahan dan perkembangan di tangan pengikutnya di kemudian hari.
b) Al-Amidi
yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
Ijma’ adalah
kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi
umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.
Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi ijma’ itu
pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi Muhammad, yaitu
orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai dan pengikat atau
para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam hal ini orang
awam tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun lebih lanjut terlihat, bahwa
al-Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan ijma’
dengan ketentuan ia telah mampu berbuat hukum. Untuk maksud ini al-Amidi
memberikan alternatif definisi ijma’ sebagai berikut:
Kesepakatan
para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
Definisi
yang dikemukakan ulama Ahl al-Sunnah berkisar di sekitar definisi yang
dikemukakan al-Amidi tersebut di atas meskipun berbeda dalam perumusannya,
yakni, kesepakatan orang yang bernama ulama atau ahl as-halli wa al-‘aqdi.
c)
Definisi yang berbeda secara substantial adalah apa
yang dikemukakan ulama Syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada kata ‘semua”.
Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai
wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama Syi’ah merumuskan
definisi ijma’ sebagai berikut:
Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka
dalam menetapkan hukum syara’
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan
kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena
menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri
di luar apa yang telah ditetapkan olah Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka ijma’ itu
hanya untuk menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang
dianggap ma’shum atau terbebas dari dosa yang dalam hal ini, menurut
mereka, adalah Nabi Muhammad dan Ahlul bait (Keturunan Nabi dari
Fathimah serta Hasan dan Husen).
d) Al-Nazham
(pemuka kelompok Nazhamiyah, satu pecahan dari Mu’tazilah) mengemukakan rumusan
lain tentang ijma’.
Setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
Maksudnya:
“Setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah,
meskipun ucapan seseorang”.[6]
B. Rukun- Rukun
Ijma’
Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah :
kesepakatan para mujtahid lah teknis hukum atau dari umat islam pada suatu masa
atas hukum Syara definisi ini dapat di ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana
menurut Syar’i ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat,
yaitu:
Pertama: adanya sejumlah para mujtahid pada saat
terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat
tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai
dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat
sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali,
atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi
ijma’ pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa
Rosululloh SAW ., karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
Kedua: adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan
umat islam terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu
terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok
mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah saja
ataupun para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau
para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan
Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan
kesempatan kusus ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak
bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam
pada masa suatu kejadian selain mujtahid tidak masuk penilaian.
Ketiga: Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan
mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang
pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat
masing-masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa
mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu
putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya
pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat, mereka secara kolektif,
misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa
terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan
setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat
atau satu hukum mengenainya.
Keempat: bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau
suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat,
maka kesepakatan yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat
sedikit jumlah mujtahid yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang
sepakat karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih
ditemukan kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak
lainya. Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah
Syar’iyah yang
pasti dan meningkat.[7]
C.
Syarat Ijma’
Di samping rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula
syarat-syarat ijma’, yaitu:
1) Yang
melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad.
2) Kesepakatan
itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
3) Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh
seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para
ulama, diantaranya:
1) Para
mujtahid itu adalah sahabat.
2) Mujtahid itu
kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh
menyebutnya dengan ijma’ shahabat.
3) Mujtahid itu
adalah ulama Madinah.
4) Hukum yang
disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid
yang menyepakatinya.
D.
Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah
terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti),
wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang
mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ahli ushul fiqh tidak
boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang
ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan
menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan Sunnah.[9]
Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang
mengatakan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qath’i dan menempati
urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:
1. Firman Allah swt. Dalam surat al-Nisa’
ayat 59:
Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Alah dan taatilah Rasul dan uli al-amri di
antara kamu...
Menurut
Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam ayat itu bersifat umum,
mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan
dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya). Ibn ‘Abbas menafsirkan uli
al-amr ini dengan para ulama.
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur
Ulama adalah surat al-Baqarah,ayat 143, Ali Imran ayat 110, dan al-Syura
ayat 10. Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), mengemukakan ayat lain yang
dijadikan Jumhur sebagai alasan kehujjahan ijma’ , yaitu firman Allah
dalam surat al-Nisa ayat 115,
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ
مَصِيرًا
Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ke dalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Menurut
al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak
mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, dan menentang Allah dan Rasul-Nya hukumnya haram.
2. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda
Rasulullah saw.:
Umatku tidak
akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al-Tirmidzi)
Dalam lafaz
lain disebutkan:
إِنَّ
أُمَّتِي لاَ يَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Umatku tidak
akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan.
Dalam hadits
lain Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ
باِلجَمَاعَةِ وَإيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ فَإِنََّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ
وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أَبْعُد[10]
Hendaklah kalian berjamaah dan
jangan bercerai berai, karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua orang
lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)
Lebih lanjut Rasulullah saw.
bersabda:
منْ فَارَقَ
الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلاّ
أَنْ يَرْجِعَ فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَلَّى
وَصَامَ؟ قَالَ : وَإِنْ صَلَّى وَصَامَم
Dari
al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda:’Siapa yang meninggalkan jamaah
sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya kecuali jika
kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai Rasulullah, walaupun dia sudah mengerjakan
shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah SAW menjawab:’Walaupun dia shalat dan
puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)
Seluruh hadits itu menurut Abdul
Wahhab Khalaf, menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid
sebenarnya merupakan hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para
mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas,
tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid mereka maka
tidak ada alasan untuk menolaknya.[11]
E.
Macam-macam ijma’.
Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkanya, maka ia ada dua macam
yaitu:
Pertama:
Ijma’ Sharih, yaitu: kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu
kasus, dengan cara masing-masing dari mereka menemukakan pendapatnya secara
jelas melalui fatwa atau putusan hukum. Maksudnya bahwasanya setiap mujtahid
mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara
jelas.
Kedua: Ijma’
Sukuti, yaitu: sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka
secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum,
dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut,
baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu.[12]
Adapun macam yang pertama yaitu Ijma’ Sharih, maka itu
ijma yang hakiki dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur
ulama.sedangkan macam yang kedua yaitu ijma’ syukuti, maka ia adalah ijma
I’tibari (anggapan), karena sesungguhnya orang yang dian saja tidak ada
kepastian, bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian mengenai
terwujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma’, dan karena inilah maka ia masih
dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti
bukanlah hujjah, dan bahwa ijma tersebut tidak lebih dari keadaanya sebagai
pendapat sebagian dari individu para mujtahid.
F. Fungsi Ijma’
Yang dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah kedudukannya dihubungkan
dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu,
menurut ulama Ahl as-Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah hanya
untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini
terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’ dilihat
dari sudut pandangan masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk
kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu
dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq
Allah yang telah dianugrahkan kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut.
Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat
mandiri.
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya
sandaran untuk suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’
itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran
itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil
yang kuat atau qath’i, baik dalil itu berbentuk nash atau qiyas.[13]
G. Problematika
Ijma
Kebanyakan ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’ menurut
makna atau ta’rif yang diberikan oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu
dasar dari dasar-dasar syari’at sebagai yang sudah dijelaskan.
Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama,
ditinjau dari segala aspeknya jelaslah bahwa : masalah menjadikan ijma’ sebagai
dasar agama, atau hujjah, bukanlah masalah yang disepakati. Banyak diantara
ulama mujtahidin walaupun mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang telah
diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak mungkin terjadi.
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa “kemungkinan
terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tak dapat diterima lagi karena para ulama
islam telah bertebaran sampai kepelosok. Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai
kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang mudah lagi, bahkan hampir bisa
dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar bahwa mereka seluruhnya telah
berkumpul di kota itu untuk menyepakati sesuatu hukum. Bahkan imam Ahmad itu
mengingkari terjadinya ijma’ yang diartikan dengan arti ahli ushul itu di masa
sahabat sendiri. Beliau mengatakan “barang siapa mengatakan berarti ia telah
berdusta”. Cukuplah ia katakan “aku tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat
ini”. Karena boleh jadi telah ada yang menyalahi yang belum sampai berita ini
kepadanya.
Abu Muslim Al Ashfahani mengatakan bahwa “ para ulama
menetapkan bahwa ijma’ sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang dibelakang
sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma sesudah sahabat
tak mungkin diketahui ada/terjadi. Dia menandaskan bahwa “sukar kita mengetahui
ada/terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit jumlah
orang-orang yang dipandang ahli ijma’. Keadaan itu memungkinkan meraka
berkumpul atau memberi persetujuan kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka
masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun sekarang sudah islam
tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak mungkin lagi kita
meyakini ada terjadinya ijma’ (kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang
ditetapkan Abu muslim ini itulah yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih
dekat masanya kepada masa sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap
segala urusan yang dinukilkan.
Ringkasnya ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin
terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti “mengumpulkan para ahli bermusyawarah
sebagai ganti para amirul mu’minin” itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah
ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.[14]
H.
Dalil-Dalil Ijma Ekonomi Syariah
Kontemporer
Beberapa
dalil-dalil ijma yang akan dikemukakan adalah merupakan hasil ijtihad para
ulama di Indonesia khususnya melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) di bawah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dimana salah satu tugasnya adalah mempublikasikan
penerapan sistem ekonomi Islam kepada masyarakat, selain itu menjadi pengawas
bagi penerapan ekonomi Islam terhadap lembaga-lembaga keuangan syariah.
Dalil-dalil ijma tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut (Mukhtar Al Shodiq, 2005) :
(1) Giro adalah simpanan
dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek,
bilyet giro, sarana perintah lainnya atau dengan pemindahbukuan.
Giro ini dibenarkan secara
syariyah yaitu giro dengan prinsip mudharabah dan wadi’ah. Landasan
prinsip ini pada QS. Al Baqarah (2) ayat 283. Juga pada riwayat sejumlah
sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai
mudharabah dan tidak seorangpun mengingkari mereka. Karenanya hal ini
dipandang sebagai ijma (Wahab Zuhaily, 1898).
Ketentuan umum giro
berdasarkan sistem mudharabah yaitu : (1) Dalam transaksi ini nasabah
bertindak sebagai shohibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak
sebagai mudharib atau pengelola dana; (2) Dalam kapasitasnya sebagai mudharib
bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah; (3) Modal harus dinyatakan dengan jumlah dalam bentuk tunai
dan bukan piutang; (4) Pembagaian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk
nisbah dan dituangkan dalam aqad pembukaan rekening.
Adapun ketentuan umum giro
berdasarkan wadi’ah yaitu : (1) Bersifat titipan; (2) Titipan bisa
diambil kapan saja; (3) Tidak ada imbalan yang diisyaratkan kecuali dalam
bentuk pemberian sukarela dari pihak bank.
Ijma tentang giro ini
dibutuhkan karena keperluan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan
dalam bidang investasi pada masa kini memerlukan jasa perbankan dan salah satu
produk perbankan di bidang penghimpunan dana ini adalah giro.
(2) Tabungan adalah
simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat
tertentu yang telah disepakati.
Ijma ulama menyatakan
tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah adalah tabungan yang berdasarkan
perhitungan bunga. Sedangkan yang dibenarkan berdasarkan prinsip mudharabah dan
wadi’ah. Hal ini didasarkan pada riwayat sejumlah sahabat menyerahkan
(kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak
seorangpun mengingkari mereka. Karenanya hal ini dipandang sebagai ijma
(Wahab Zuhaily, 1898).
(3) Al Qard adalah suatu
aqad pembiayaan kepada nasabah tertentu dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan dana yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah (LKS) pada
waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah.
Landasan ketentuan ini
pada QS. Al Maidah (5) ayat 1
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
”Hai
orang-orang beriman penuhilah aqad-aqad itu ... ”.
Ijma ulama mujtahid
menyatakan sistem ini sah menurut syariah dengan ketentuan (1) Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) disamping sebagai lembaga komersial harus dapat berperan sebagai
lembaga sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal yang salah
satu sarananya melalui prinsip al Qard dengan aqad yang sesuai dengan
syariah; (2) Nasabah al Qard wajib mengembalikan jumlah pokok yang
diterima pada waktu yang telah disepakati bersama; (3) Nasabah al Qard dapat
memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak
diperjanjikan dalam akad.
Masih banyak
masalah-masalah perkonomian yang telah ditetapkan hujjahnya dalam bentuk ijma
ulama mujtahid diantaranya tentang salam, investasi di reksa dana syariah,
asuransi syariah, rahn (gadai), al Sharf (jual beli mata uang),
obligasi syariah, pasar modal dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya Ijma tetap
masih sangat dibutuhkan karena pasti masalah-masalah yang berhubungan dengan
muamalah akan terus berkembang sepanjang kehidupan manusia. Wallahu ’alam
bishawab.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma
harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai
kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama
sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:
Pertama:
bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak akan
sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa
keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi, sebagaimana
diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan
kepada wahyu.
Ketiga:
bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah. Kalau mereka
sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
Keempat:
pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui kaitanya
kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak wajib
diikuti.[15]
- SARAN
Mengingat manusia tidak luput dari
kesalahan, makalah yang kami susun inipun masih banyak kesalahan dan
kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari masyarakat pembaca
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kepada Dosen pengajar
diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan mutu dan kualitas mahasiswa Ekis
pada khususnya didalam mengembangkan ilmutafsir demi terwujudnya hubungan
mahasiswa dengan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen,
Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Khallaf,
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dita Utama, 1994
Ash
Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997
Abd.Al-HavyAl-Farmawi,
Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996
Boedi
Abdullah, ilmu ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia, 2008
[1]
Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh,
Bandung : CV pustaka setia, 2008. Hal. 165
[2]
Ibid hal. 166
[3]
DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51
[4]
Qs : Yusuf ayat 15
[5]
DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51
[6]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.113-114
[7]
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.57
[8]
DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.53-54
[10]
Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah
At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996. Hal. 123
[11]
DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.56
[12]
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.64
[13]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.133-134
[14]
Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1997. Hlm.193
[15]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Pembaharuan
Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang: Angkasa Raya,1993. Hlm.63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar